Selasa, 12 Maret 2013

Pembelajaran Moral Santri

Kabar yang menyedihkan pernah “menyapa” sebuah departemen yang seharusnya bisa memberi contoh kepada departemen lain, departemen yang sebagian anggotanya pernah menjadi santri, ironis memang. Para santri  hampir setiap hari mendapatkan pelajaran moral yang didapat dari quran, hadits, mahfuzhat, ceramah, doktrin dsb. Sepantasnya “gemblengan”ini menjadikan santri “lebih soleh” dibandingkan mereka yang “bukan santri” yang tidak mengenyam pesan agama sesering para santri.
sudah saatnya bagi pemerhati pendidikan Islam untuk mulai mengevaluasi metodologi pembelajaran di pesantren, khususnya pembelajaran moral. Metodologi pembelajaran moral  saat ini apakah bisa mengajak para santri untuk merasakan dan mengerti kandungan sebenarnya dari pesan moral yang disampaikan. Pesan moral yang diajarkan islam itu  sempurna, tetapi bila cara penyampaiannya tidak tepat, maka tidak akan menjadi pengekang bilamana seseorang lupa.
Berdasar pada pengalaman pribadi, kebanyakan guru pesantren mengajarkan akhlak dengan menitik beratkan hafalan dan pemahaman arti harfiah. dulu waktu nyantri, kitab akhlakul banin, yaitu kitab yang menjadi pedoman dasar pengembangan akhlak pemula di pesantren salaf , diajarkan dengan metode sorogan dimana guru membaca dan mengartikan kata perkata. Ketika selesai menerangkan, semuanya mendapatkan giliran membaca kembali apa yang sudah diartikan, sayangnya mereka jarang ditanya sejauh mana mereka memahami pesan itu, malahan yang hafal di luar kepala bisa pulang duluan. Ustadz saya selalu menerangkan “kalian kalau melakukan ini  akan disiksa di neraka, dibenci tuhan, tidak akan masuk surga dll”. Alasan agama selalu menjadi motif utama apakah suatu perbuatan dilakukan atau tidak. padahal masih banyak alasan yang bisa  dijelaskan secara logika, tapi sayang logika jarang dipakai. contohnya ketika santri ditanya  tentang alasan menjaga kebersihan, jawaban pertama yang muncul adalah kebersihan itu  sebagian dari iman, tetapi apakah mereka benar-benar mengerti alasan ” kenapa kebersihan itu menjadi bagian dari iman?”, sepertinya tidak semua santri bisa menjawabnya. bila suatu pesan moral diajarkan hanya dari segi agama dikhawatirkan keimanan seseorang berkurang sehingga dia akan kehilangan alat pengekangnya. peran pemakaian logika dalam penyampaian pesan agama sangat penting sekali karena penggunaan logika akan mengarah kepada pemahaman yang hakiki tentang suatu pesan. c
seorang pengajar materi moral harus membekali dirinya dengan kemampuan menganalisa suatu masalah dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari dalil agama. sebagai contoh  bila hendak melarang santri untuk meludah di sembarang tempat, dia harus bisa menganalisanya dari sudut kesehatan atau dampaknya pada lingkungan.
Berguru pada orang jepang, seperti yang saya alami hablun minan naas mereka atau hubungan antar sesama manusianya boleh dikatakan lebih baik dari orang indonesia, padahal orang jepang menganggap agama itu bukan hal yang penting, terbukti dari banyaknya masyarakat jepang yang beragama lebih dari satu atau percaya pada semua tuhan. Hal ini  menjadi pertanyaan yang besar buat kita orang indonesia yang menjadikan agama sebagai “way of life”, kenapa hal ini bisa terjadi. sepertinya perlu tafakkur yang lebih mendalam lagi tentang metodologi pembelajaran moral yang pernah dialami.
Ada beberapa masalah  mendasar yang harus dievaluasi lagi tentang cara  penyampaian  materi  moral di dunia  pesantren, diantaranya:
  1. kurangnya pemakaian logika dalam penyampaian materi moral. Para guru hanya memakai dalil-dalil agama. contohnya alasan  larangan ghibah sering hanya ditekankan dari dalil quran atau hadis. padahal ghibah bisa dijelaskan dari beberapa aspek, baik sosial, kemanusiaan ataupun keamanan. pemakaian logika masih jarang dilakukan sehingga kurang membentuk pemahaman yang hakiki di jiwa santri.
  2. banyaknya materi moral yang diterima santri dan  disampaikan tanpa penjelasan yang jelas tentang intisarinya.
  3. cara evaluasi yang kurang tepat.  kebanyakan evaluasi dilakukan dengan keharusan menghapal pesan moral tersebut, seperti dalam pelajaran mahfuzot. juga evaluasi hanya dilakukan dengan mengukur kemampuan santri dalam membaca dan mengartikan kalimat dalam bahasa arab, seperti  kitab akhlakul banin.
  4. cara penyampaian yang lebih  cenderung berbentuk satu arah, santri hanya menjadi pendengar  “setia”.
pemakaian audio visual dalam penyampaian materi moral sangat membantu memahamkan pesan kepada santri, seperti pemutaran film hidayah. bahkan efeknya bisa  lebih besar dari ceramah biasa. pemutaran film ini bisa dikatakan praktikum dari teori yang telah disampaikan, teori yang dibarengi dengan praktik akan lebih mudah dipahami dan lebih berbekas.
Materi moral harus dipahami, dihayati dan dirasakan oleh santri. materi itu harus masuk kedalam hati para santri dan betul-betul dimengerti.  Pesan moral harus dijelaskan bukan hanya dari segi agama, tapi juga dari sisi kemanusiaan tanpa memandang agama, runtutan akibatnya, penjelasan ilmiahnya dll.
Semua santri harus bisa menjelaskan secara logika alasan dan inti sebenarnya dari suatu pesan moral. Bukan hanya dengan menghapalnya di luar kepala dan bukan pula hanya karena takut neraka atau ingin masuk surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar